Bersama Dalam Berkarya

Sabtu, 28 November 2015

Catatan Dewan Juri Festival Teater Jakarta Timur 2015

Catatan  Festival Teater Jakarta Timur 2015

Azuzan JG

Festival Teater Jakarta Timur 2015 ini berlangsung di Pusat Latihan Kesenian, Jl. Hj. Naman No. 17  Jakarta Timur.
Festival teater ini  diikuti oleh 13 grup teater. Setiap hari berlangsung 2 pementasan. Pada hari terakhir hanya 1 grup yang tampil. Tgl.  31 Oktober,  malam harinya,  merupakan acara penutup sekaligus pengumuman hasil festival. Dewan Juri telah membuat evaluasi umum pelaksanaan FTJ Jaktim 2015. Catatan ini adalah catatan pelengkapnya.

1.  TEATER  TUKANG
Pentas Tgl. 25-10-2015  Jam 13.00
Naskah:  Kursi Kisruh, karya/sutradara Rian Hamzah
Kelompok  teater ini datang dengan sebuah konsep ruang yang cukup menjanjikan pertunjukan teater inovatif. Di atas panggung prosenium bertebaran kursi-kursi. Beberapa kursi digantung. Kursi untuk penonton dibuat acak, tidak beraturan. Gambaran peristiwa teater yang akan disuguhkannya cukup mencuat. Terlebih, ketika si pemain yang juga sebagai sutradara, bertindak sebagai narator, membuka pertunjukan. Lalu ada saweran, dimaksudkan untuk amal,  membantu ppertunjukan. 
Ada kesadaran kuat  akan kondisi sosial kemanusiaan dari kelompok ini. Itu tampaknya menjadi dorongan peristiwa-peristiwa teater yang akan disuguhkan. Adegan demi adegan pun bergulir. Serombongan orang muncul di panggung saling berebut kursi sambil  berucap: “Punyaku…. punyaku” Lalu adegan berlanjut ke berbagai  dialog yang menyiratkan bahwa  kursi-kursi yang dimaksud adalah simbol dari kedudukan, jabatan. Fenomena sosial politik yang tengah terjadi saat ini ingin dihadirkan di peristiwa-peristiwa teaternya.

Adegan cukup menarik dari kelompok ini, ketika dua tokoh berdesakan di sebuah bak  sampah yang kecil. Kedua tokoh itu saling berebut untuk keluar. Lalu ada kalimat-kalimat berhamburan dari mereka: “dimana kita?”  yang lain menjawab: “Di rahim peradaban”

Gagasan pertunjukan yang ingin disampaikan kelompok Teater Tukang ini sebenarnya sangat jelas, menyoroti perilaku para politisi yang saling berebut jabatan, yang akhirnya berakibat buruk bagi kehidupan.  Akan tetapi, peristiwa demi peristiwa teater yang  dihadirkannya,cenderung  diselesaikan melalui kalimat kalimat verbal,tanpa dibarengi  laku yang dalam. Tubuh-tubuh para pemain yang tampak, belum maksimal mencuatkan parahnya kerakusan manusia  akan jabatan yang  sangat transparan dalam kehidupan itu. Kursi membuat persaudaraan menjadi hilang,  seperti yang diucapkan salah seorang pemainnya, itu tidak tergambarkan maksimal dalam laku di atas panggungnya. Benda-benda properti, kursi, yang menjadi simbol  ungkapan ekspresinya, tidak  diupayakan dibuat dalam wujud netral (misalnya membungkusnya dengan kain kemain, sehingga imaji wujudnya tidak  direbut oleh  imaji kursi yang lebih  menyiratkan kursi biasa yang dipakai dalam sebuah perhelatan) 
Dalam teater tubuh, kehadiran benda-benda,  segala apa-apa yang terlihat dan terdengar, tidak dihadirkan begitu  saja. Ia mempresentasikan simbol atau pertanda, melampaui teks yang ingin memaknainya.  Dalam  pentas ini,  simbol kursi yang ingin dilampaui penampakan kursi itu sendiri kurang muncul. Makna kursi yang dihadirkan itu mengalami hambatan , oleh sebab ia tidak melalui proses penetralan  benda, dan tampaknya tidak menyertai  proses latihannya. Kenapa  tidak,  kursi yang dipakai dalam proses  latihan  itu yang  dihadirkan? Perlakuan akan benda yang  jadi alat ungkap ekspresi  ini jadi terlihat berhati-hati.  Padahal, dalam gagasan pertunjukannya  cukup  menarik. Terutama  di  bagian  akhir. Sang Tokoh  menemui  nasibnya,  ditimbun  oleh kursi-kursi  yang merupakan simbol dari jabatan,  kekuasaan itu sendiri.
 
2.  TEATER PINTU KERETA
Pentas tgl. 25 Oktober 2015 Jam 19.00
Lakon:  Dan Siapa  Nama  Aslimu, karya  Komunitas Berkat  Yakin  Lampung.
Panggung untuk pertunjukan dimaksudkan  berbentuk arena.  Panggung prosenium dijadikan tempat duduk penonton. Dibagian   belakang panggung  arena ada  sebuah bentuk box besar yang  dibungkus kain putih. Di atasnya seorang pemain memegang  payung, duduk  bersila. Yang  lain bergelantungan. Di bagian langit-langit  panggung  ada sebuah tangga bambu. Di lantai panggung arena, beberapa pemain wanita, berkostum sama dengan kostum  bernuansa warna merah,  berpayung merah, membentuk formasi simetris dan  seimbang. Hal menonjol dari pertunjukan teater ini, adegan demi adegan mengalir dinamis dalam berbagai komposisi-komposisi panggung yang menarik untuk ditonton.

Naskah ini bersumber dari sebuah kelompok teater berbasis studi teater yang cukup serius di Lampung. Antara karakterisasi tokoh dan peristiwa yang dialaminya, berbaur dengan komposisi-komposisi artistik yang dibangun dari kebersamaan pemain.

Satu hal yang  terabaikan dari pertunjukan  yang  disajikan Pintu Kereta ini, suara bunyi-bunyian dan musik pendukung pertunjukannya terlalu  dominan, berkali-kali menenggelamkan ucapan-ucapan pemainnya.

Koor yang disampaikan pemainnya sering berjalan dalam tempo ucapan yang tidak sama. Ditambah dengan persoalan keseimbangan bunyi-bunyian dengan suara pemain, informasi peristiwa melalui koor itu  menjadi  tidak jelas diartikulasikan. Komposisi demi komposisi bertabrakan dengan teks-teks yang berhamburan. Beberapa pemain, kurang menyadari ruang bermainnya, bahwa selama ia masih terlihat oleh penonton, ia menjadi bagian dari pertunjukan yang tengah mengalir. Yang terlihat adalah, intensitas beberapa pemain muda itu mengendur begitu ia berada di pinggir arena. Itu mengganggu jalannya ritual  teater, yakni ritual kebersamaan mengalami peristiwa yang tengah berlangsung di pentas.

Penempatan pemusik di  bagian kanan belakang panggung arena, jauh dari posisi penontonnya, mungkin menjadi sebab para pendukung bunyi—bunyian itu kesulitan mengatur keseimbangan efek-efek suaranya. Ini memang persoalan teknis. Tetapi gagasan pemanggungan teater yang kelihatan bagus dan inovatif secara visual ini, jadi tidak muncul secara jernih. Kreatifitas pemanggungan dan  kekompakan pemain  dalam koor, menjadi terganggu karenanya. Padahal, kelompok ini terlihat terorganisir cukup rapi. Kurang lebih 20 pemain dan orang-orang di belakang panggung tampak saling bahu membahu, bekerjasama untuk menampilkan adegan demi adegan yang digulirkan. Saat-saat tangga diturunkan, pemain bergelantungan di atasnya, saat-saat daun-daun kering jatuh dari para-para, kesemuanya seharusnya mampu memunculkan kesan visual yang puitik. Tapi ya itu tadi, unsur audio nya tidak seimbang dengan vokal pemain. Volume bunyi-bunyiannya terlalu keras. Dan itu merusak teks-teks pertunjukannya.  Konsekwensi menyampaikan teks melalui suara  pemain, tentu saja suaranya harus terdengar jelas dari berbagai sisi penontonnya.

3. TEATER TROMPAH:
Pentas  tgl. :  26-10-2015  Jam 13.00
Lorong, karya Phutut Buchori
Persoalan masyarakat miskin di perkotaan menjadi sorotan naskah ini. Peristiwa demi peristiwa dalam naskah coba menggambarkan keseharian hidup masyarakat  di  tempat itu dengan berbagai masalahnya. Ketenangan masyarakat miskin itu terusik sehubungan dengan masuknya pemilik modal yang bersiasat untuk menguasai lahan pemukiman penduduk itu. Cerita diakhiri dengan dikalahkannya kaum miskin perkotaan tanpa perlawanan berarti.

Dalam pemanggungannya, kelompok teater ini terlalu ringan memunculkan konflik kemanusiaan yang tengah terjadi itu. Jalinan peristiwa demi peristiwa di dalamnya tidak sampai pada konflik yang memuncak dan memberi stimulan pada jiwa pemain-pemainnya untuk  bangkit  dan  bertindak. Setiap benih konflik yang mulai ada, cenderung diselesaikan dengan ucapan bernada tipikal: “……sudah, pokoknya, bagaimanapun…” Naskah yang ditulis bergaya realis ini lemah dalam struktur dramatiknya. Para pemain kehilangan pegangan untuk beranjak dari titik  konflik satu ke titik konflik berikutnya.
Proyeksi dan artikulasi, yang merupakan persoalan mendasar dalam kebutuhan bermain di atas panggung, tidak dikuasai para pemainnya dengan baik. Hanya  pemeran Prantoro yang suaranya  bisa didengar. Tetapi ucapannya tidak didukung pergolakan di dalam batinnya. Teks sekedar informasi apa yang dilakukannya.  Para pemain lain seperti  bergumam. Adegan demi adegan berjalan tanpa enerji. Datar. Hanya ada obrolan-obrolan ringan biasa diselingi kelucuan-kelucuan yang sia-sia. Di akhir pemanggungan, berbagai  set panggungnya dirubuhkan sebagai bagian dari adegan penggusuran. Itu tidak jadi  peristiwa yang  menggetarkan,  sebab peristiwa sebelumnya tidak terbangun. Tidak terjadi interaksi antar unsur kehidupan dengan muatan-muatan keterampilan indvidu dalam berekspresinya.

4. TEATER BARU
Pentas tgl. 26-10-2015    jam  19.00
Uhibbuka, karya/sutradara: R. Tono
Ini persoalan cinta manusia yang tak tersampaikan. Yang satu berharap pada yang lain, dan yang lain memberi harapan tetapi akhirnya berbuah kepedihan: “aku mencintaimu, tapi kau bukan jodohku”
Puncak kesadaran tokoh Bara akan rasa cinta pada kekasihnya itu terjadi di akhir cerita, setelah tokoh itu berada di alam fana.
Uhibukka (aku cinta padamu) oleh Teater Baru ini dimainkan secara musikal. Di saat tokoh-tokohnya mengalami konflik batin yang kuat oleh persoalan cinta yang dihadapinya, tokoh itu mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi.

Naskah ini dibuat secara fragmentaris. Berupa potongan-potongan peristiwa non-linear. Ada lompatan-lompatan ruang dan waktu. Di satu saat Tokoh Bara bertemu kekasihnya, disaat berikut ia sudah berada di alam fana.
Kelompok teater ini coba membeber peristiwa-peristiwa teaternya melalui pemanggungan yang minimalis. Panggung ditata sederhana. Ruang panggung dibagi dua secara simetris dengan undakan di bagian belakang panggung.  Melalui setting dan bloking yang sangat minim ini, para pemainnya tampak bermain tidak pada ruang nyata. Mereka terfokus pada ruang peristiwa yang terjadi dalam batin tokoh-tokohnya. Ini merupakan sebuah pilihan yang beresiko mempersempit kekayaan ruang-ruang penceritaannya.

Pemeran Bara dan Dewi bermain cukup menonjol. Pemain lain juga tampak bisa merasakan konflik-konflik batin yang diderita tokoh-tokohnya akibat cinta.  Pada beberapa bagian, saat pemeran Ning bernyanyi, ia kadang-kadang keluar dari nada dasar  nyanyiannya. Hal  itu tertolong di saat berdialog, ia cukup intens mendalami  perannya.  Hal lain yang menjadi sendatan-sendatan kecil dalam pertunjukan ini, peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya kurang lancar. Irama pertunjukan  yang  musikal itu sedikit  terganggu karenanya.

5.  Dr. Teater
Pentas tgl.  27-10-2015   jam 13.00
Hitam Putih  Cinta, karya  Endin  Sas
Kembali ke persoalan mendasar.  Naskah  pertunjukan ini  tidak  mampu  membangkitkan naluri bermain  para pemerannya.  Persoalan  yang diungkapkan dalam naskah melebar dan melompat-lompat.  Ada  semangat untuk keluar  dari kelaziman  bercerita  yang linear. Tetapi lompatan-lompatan itu begitu  liarnya. Menjadi sulit  untuk dikuasai oleh pemainnya. Hal-hal remeh temeh dihadirkan. Dari soal listrik mati, menelpon kesana-kemari untuk hal-hal biasa.  Setiap persoalan yang diungkap tidak memiliki fokus. Pada saat  tokoh Puji Smara masuk dan minta tolong pada Dewa Lio sebab ia merasa terancam hidupnya, itu seperti bukan peristiwa penting. Persoalan itu melompat begitu saja ke masalah   Tuhan.  Lalu tokoh PujiSmara,  yang semula  dikatakannya merasa terancam – oleh sebab yang tidak jelas, ditinggalkan  begitu saja oleh Dewa Lio.
Beberapa peristiwa dibangun seadanya. Saat di ruang itu digambarkan ada api dan si tokoh berupaya memadamkannya, aksi yang muncul hanya sekedarnya.  Di panggung teater,  api itu  boleh tidak  ada. Tetapi kehadiran api itu bisa  jadi ada melalui kekuatan imaji  pemainnya. Yang terjadi adalah kepanikan-kepanikan mekanis, tanpa  penghayatan terhadap peristiwa kebakaran  yang dimunculkan.  Kehadiran peristiwa demi  peristiwa  tampak dipaksakan. Lalu di  bagian akhir pertunjukan, digambarkan bahwa  semua  peristiwa itu hanya mimpi.
Agaknya, pertunjukan ini ingin menyampaikan bahwa sebagaimana mimpi itu sendiri, ruang dan waktu menjadi hablur. Peristiwa-peristiwa yang  terjadi bisa datang dan pergi begitu saja tanpa musabab. Meski begitu, dalam konteks teater, apa-apa yang  ditampakan dan  didengarkan di panggung  itu  adalah sebuah peristiwa. Ada sebuah  gagasan yang ingin disampaikan melalui peristiwa-peristiwa.  Itu yang tidak muncul dalam pementasan ini.  Modal  dasar bagi pemain,  alat-alat   ekspresi tubuh dan suara, tidak dipersiapkan dengan baik. Ekspresi  panggungnya jadi  lemah. Di satu bagian, tata cahayanya muncul cukup efektif, saat si pemeran Panjismara nembang. Pencahayaan  di beberapa adegan lainnya  kewalahan,  tidak  mampu  memunculkan berbagai ruang yang melompat-lompat di alam mimpi itu.

6.   SANGGAR  TEATER  JERIT
Pentas tgl. 27-10-2015  jam 19.00
Arwah-Arwah,   WB Yeats, saduran Saini KM
Setting panggung digarap cukup serius. Di sisi kiri panggung ada puing bangunan  tua. Di sebelahnya sebuah pohon besar.  Cahaya  mencercah dari atas, memunculkan kesan misteri yang kuat.  Pertunjukan dibuka  dengan cercahan cahaya bergantian seiring musik, menampakkan sosok-sosok yang mengesankan sebagai  arwah-arwah di ruang itu. Arwah-arwah itu hilang dan muncul bergantian. Lalu dua orang tokoh  tiba di  tempat itu. Tokoh Orang Tua  bisa melihat arwah-arwah yang bergentayangan di tempat itu. Tokoh  anak tidak  melihatnya. Aksi-aksi panggung yang melahirkan berbagai peristiwa itu berpeluang hadir lebih memikat.
Gagasan yang terkandung dalam naskah  cukup jelas. Arwah-arwah itu bukan sekedar arwah orang mati. Itu bisa memiliki tafsir ganda. Arwah adalah  juga sebagai  simbol dari sebuah  kebudayaan yang sudah mati, tetapi memiliki pengaruh kuat  dalam kehidupan yang tengah berjalan. Indikasi tafsir ganda itu  terdapat di akhir cerita. Saat si tokoh Orang Tua membunuh anaknya, ia berucap: “…kubunuh anak  itu karena ia telah tumbuh. Ia akan mematahkan nasib seorang perempuan, membuahinya dan melanjutkan keonaran” Tafsir  terhadap teks penutup ini bisa memperkaya pengadeganannya.

Berbagai lapis penafsiran yang terkandung dalam naskah itu luput  dimunculkan. Arwah ditafsir kelompok teater ini sebagai  arwah biasa dalam kepercayaan masyarakat timur. WB Yeats, si pengarang, adalah seorang penyair  dengan latar budaya  yang mengedepankan rasionalitas dalam hidupnya. Bila arwah itu  pilihan tafsirnya, yakni arwah dalam kepercayaan masyarakat timur, penggarapan lalu-lalang arwah-arwah itu kurang diperhitungkan. Padahal ketegangan dramatik (suspence) bisa dimunculkan melalui interaksi intens antara tokoh Orang Tua dengan keberadaan arwah-arwah yang senantiasa membayang-bayangi langkahnya. 
Oleh sebab  kehadiran arwah-arwah  itu tidak tergarap dengan baik, para  pemeran arwah ada  yang kehilangan kontrolnya saat bermain. Ia menabrak pohon besar  yang jadi  set dekor hingga pohon itu rubuh. Imaji  ruang dan peristiwa yang semula terbangun, nyaris jadi rubuh juga. Itu tertolong, sebab kedua pemain utamanya tidak terpengaruh oleh  rubuhnya pohon itu. Mereka melanjutkan permainannya hingga usai.

7. TEATER  CAMMUS
Pentas tgl. 28-10-2015  jam  13.00
Meja  Makar, karya  Reza Remon Ghazaly.
Gagasan yang terkandung dalam naskah yang khusus ditulis  untuk kelompok teater ini, ingin menyorot tajam kerakusan para  pemilik modal, yakni masyarakat kelas atas yang bersekongkol dengan pejabat pemerintah untuk mengeruk keuntungan. Setting pertunjukan digambarkan  terjadi di sebuah restoran  mewah. Para pelaku bisnis, kaum  kelas atas itu  berkumpul untuk membangun bisnis teknologi komunikasi. Peristiwa teaternya  coba digulirkan di ruangan itu.
Konsentrasi untuk  pertunjukan  ini terlalu terfokus pada segi artistik: setting, make-up dan kostumnya.  Sebuah restoran berkesan mahal dibangun di panggung. Sebuah lukisan berukuran besar menjadi latar  belakangnya.  Kostum pemain dibuat seperti kostum badut, penuh hiasan  warna-warni bermotif bundar dan persegi.  Tata  rias pemain seperti laiknya  badut. Memakai bedak dasar putih tebal dengan garis-garis wajah untuk mempertegas karakter-karakternya.  Ada  kesadaran kuat  dari kelompok ini untuk  menyampaikan pertunjukannya dengan gaya  karikatural. Namun, upaya itu  tidak diimbangi  dengan penggarapan naskahnya. Pemain-pemainnya hampir keseluruhan,  dari awal hingga akhir pertunjukan  seperti saling menunggu  giliran untuk berdialog. Stilisasi  ucapan dan gerakan karikatural tidak muncul. Hanya ada  satu  pemeran  wanita dari  kelompok  ini   yang tampak punya  potensi bermain  bagus.
Dengan  pemilihan bentuk penceritaan yang disusun melalui interaksi dialog-dialog, aksi dan reaksi menjadi penting. Dengan kondisi saling menunggu giliran berdialog itu, aksi dan reaksi itu tidak terjadi dan sulit melahirkan sebuah  peristiwa teater. Segala tawa dan gerak-gerik para pemain menjadi artifisial. Seperti dipaksakan, bahwa itu harus dilakukan seperti itu. Tidak ada kreatifitas dan spontanitas bermain yang muncul.

Lagi-lagi persoalan naskah  jadi problem utama. Benih-benih  gagasan yang ingin menyoroti kerakusan masyarakat kelas  atas itu, tidak dituangkan melalui laku peristiwanya. Melainkan diselesaikan begitu saja melalui ucapan-ucapan verbal. Naskah terlalu  cerewet ingin menyelesaikan segala  persoalan melalui  kata-kata. Struktur naskah sebenarnya ada. Intrik-intrik diantara kaum kelas menengah atas itu dihadirkan semakin memuncak hingga  menimbulkan  korban diantara mereka sendiri.  Akan  tetapi,   pada  saat mereka kemudian saling mengeluarkan  senjata apinya, dan saling mengancam untuk membunuh satu sama lainnya, kehadiran benda-benda pembunuh  manusia itu  tidak terkesan berbahaya. Para pemerannya tidak memperlakukan  benda-benda properti itu secara meyakinkan bahwa itu adalah senjata api yang  membahayakan jiwa.

Mereka hanya menghafal  dialog-dialog yang  akan  diucapkan, bukan menghayati peristiwa-peristiwa yang  menyebabkan dialog-dialog itu muncul. Masalahnya  berputar-putar disitu. Mereka tidak bisa menghayati peristiwa teaternya, sebab peristiwanya  sudah keburu diselesaikan melalui kata-kata. Bangunan peristiwa yang kemudian  dimunculkan,  tidak memiliki landasan yang  kokoh dari peristiwa sebelumnya.

8. TEATER  ZAT
Pentas tgl. 28-10-2015  jam 19.00
Digugu dan Ditiru, karya Gugum Okta Riansyah.
Adegan demi adegan bergerak dinamis dalam pertunjukan bergaya musikal. Pertunjukan  dibuka oleh tokoh si Tukang Cerita. Semula panggung prosenium kosong. Tukang Cerita masuk bersama serombongan kru panggung. Sambil menghantar jalannya cerita, setting pertunjukan dipersiapkan. Lalu musik berirama Flamenco membahana, mengiringi masuknya tokoh-tokoh cerita: Pertiwi, Penari, Saksi-Saksi dan tokoh Nusantara. Cerita berkisah tentang  tokoh Pertiwi yang sedang diadili, sebab kekeliruan tindak-tanduknya sebagai Guru  dihadapan anak-anak didiknya. Melalui adegan kilas balik peristiwa, Pertiwi semula digambarkan  sebagai murid yang kritis dan memiliki cita-cita mulia untuk memperbaiki sistem pengajaran.  Namun, setelah ia sendiri menjadi guru, ia menjiplak perilaku guru sebelumnya. Ia sendiri justru melanjutkan perilaku yang membuat anak-anak didiknya tidak berdaya.
Digugu dan  Ditiru ini mempersoalkan motivasi seorang manusia (Pertiwi) untuk menjadi Guru, ditengah-tengah kondisi Indonesia kini. Kondisi kini digambarkan melalui lagu Garuda Pancasila ala Hary Roesli. Penuh ironi. Dan melalui praktek belajar—mengajar yang salah  kaprah.
Pengadeganan (mise en scene) dalam pertunjukan ini sebenarnya bisa berjalan dinamis dan memikat dari  awal hingga akhir pertunjukan. Ada kekompakan  dalam bermain bersama, terutama dalam menyampaikan dialog-dialog berbentuk koor dan nyanyian. Para pemainnya  berusaha untuk bisa  menyampaikan dialog-dialognya secara  jelas.  Namun  oleh  karena disaat yang sama mereka juga harus mengimbangi bunyi musik, sepanjang pertunjukan para pemainnya nyaris berteriak-teriak  dalam  menyampaikan problem guru yang mereka hadapi. Disatu saat, musik  cukup berfungsi baik  sebagai pengiring  nyanyian-nyanyian. Disaat  lain, bunyi-bunyi musik yang   seharusnya ikut membangun  suasana cerita, justru  mengganggu ucapan pemainnya. Keseimbangan volume musik dengan pemain-pemain yang sedang berdialog sering lolos dari perhatian penggarapannya.
Dalam segi bermain dan penyutradaraan, ada beberapa bagian yang fatal, terkesan berpanjang-panjang dan berupa pengulangan-pengulangan. Itu  terutama mencuat  di antara satu adegan ke adegan berikutnya, saat si Tukang Cerita menyelingi cerita. Itu sangat merugikan ekspresi pertunjukan  yang semula sudah terbangun. Terlebih di bagian akhir, saat   Pertiwi akan  dihukum mati.  Tokoh Si  Tukang Cerita terlalu besar mengambil porsi pengadeganan yang  tak perlu. Di satu sisi ia bermain cukup dinamis dan mampu menjalin komunikasi dengan  penontonnya. Tetapi disisi lain, ia memperpanjang-panjang komentarnya. Menjauhi inti cerita.  
Editing, pemotongan  untuk  adegan-adegan  yang situasinya berulang dan  berpanjang-panjang seperti itu, seharusnya dilakukan untuk  menjadikan pertunjukan ini tampil lebih padat dan  memikat. Unsur dalam beberapa pemain, yang meliputi  imajinasi  dan konsentrasinya  sudah cukup terjaga. Di  momen  lain, peristiwa-peristiwa  teater yang muncul melalui aksi-reaksi  seimbang  tokoh-tokohnya,  terganggu oleh tawa Nusantara.  Pemeran Nusantara selalu mendahulukan tawanya sebelum berdialog. Tawanya terdengar sangat dibuat-buat. Itu  berakibat adegan-adegan yang tengah berlangsung  jadi  ikut terasa dibuat-buat. Apakah itu memang bermaksud bahwa Nusantara itu (sebagai simbol dari negara) adalah juga  dibuat-buat? Bila   itu pilihannya, itu sebuah pilihan yang  beresiko mementahkan kesungguh-sungguhan adegan pengadilan Pertiwi.  Selebihnya, yang patut dicatat  dari kemunculan grup teater ini, adalah semangat dan stamina bermainnya. Semangat bermain bersama itu seperti tidak surut sampai akhir pertunjukannya.

9. TEATER KUNCI
Pentas tgl. 29-100-2015  jam 13.00
Naskah: Fraksi  Kolong Jembatan, adaptasi lakon RT  Nol RW Nol, karya  Iwan Simatupang.
Naskah ini ditulis Iwan Simatupang tahun 1966, berlatar masyarakat miskin di perkotaan, mempertentangkan hal eksistensi manusia. Peristiwa teater  dalam naskah ini dipicu pertentangan antara dua  tokoh:  Tokoh Kakek  dan Tokoh Si Pincang.  Tokoh Kakek  merupakan seorang penghayal.  Tidak  menyerah untuk terus menerus memupuk harapan-harapannya pada apa-apa yang tidak dimilikinya dalam  hidup nyata. Tokoh si  Pincang memandang kehidupan itu lebih realistis. Tokoh-tokoh lainnya digambarkan tidak memiliki sikap yang jelas. Cenderung oportunis dan emosional. Renungan terhadap keberadaan  manusia dimunculkan melalui pertentangan-pertentangan antar tokohnya.
Tafsir terhadap naskah ini, tidak mencuatkan inti persoalan manusia melalui pertentangan pandangan hidup kedua tokoh itu . Tokoh  Kakek di pertunjukan  ini,  ditafsirkan  sebagai orang tua  yang cenderung bersedih ketika dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan. Bukan sebagai  orang tua yang gigih memperjuangkan dunia khayalannya.  Tokoh anak, yang merupakan tokoh  tambahan yang tak terdapat  pada naskah aslinya, justru bermain jujur dan  polos. Kehadiran pemeran tambahan  ini, meski ia bermain bagus, bernyanyi bagus, tetapi kehadirannya disayangkan tidak memiliki hubungan krusial dengan  inti pertentangan  pemikiran yang  dikandung   naskah. Kehadirannya  difungsikan untuk  menambah  situasi dramatik adegan.
Set  untuk  pertunjukan  ini menggambarkan  lingkungan  kehidupan  sekelompok masyarakat urban  yang  miskin di kolong jembatan.  Bangunan  rumah tambal  sulam, tiang jembatan  layang,  WC  Umum, jembatan   bambu,  ditata  dengan  kesan kumuh,  sempit, menekan  dan kotor.  Beberapa  lampu  pijar  bersinar temaram  di sudut-sudut bangunan.   Penataan  ruang bermain ini  kurang terdukung oleh  tata cahaya. Ruang yang hadir tidak memiliki dimensi  kedalaman.
Dalam hal  bermain, pemeran  tokoh si  Pincang, cukup konsisten menggeluti  pemikiran tokohnya yang ingin lebih realistis memandang kehidupan. Akan  tetapi, pertentangan pikirannya dengan si tokoh Kakek tidak mencuat, sebab si Kakek digambarkan cepat menyerah lalu bersedih meratapi nasibnya.  Pemicu pertentangan  pandangan hidup yang melahirkan berbagai peristiwa teater itu menjadi lemah. Tempo  bermain  si  Orang  Tua ditafsir sebagai tipikal orang tua yang lamban. Itu berakibat keseluruhan adegan menjadi bertempo lamban. Enerji pentas jadi  meredup. Suara pemain nyaris tidak terdengar  saat menjelang  akhir cerita. Padahal, tokoh si Kakek, dalam konteks naskah yang  ditulis Iwan Simatupang, adalah tokoh yang tidak mudah menyerah. Sampai akhir cerita ia digambarkan  masih bersemangat memiliki harapan, optimis untuk bisa  jadi pahlawan, biarpun pada kenyataan  itu cuma utopia.

10. TEATER PANKENG
Pentas tgl. 29-10-2015  jam  19.00
Naskah:  Kebebasan Abadi karya CM Nas. Sutradara:  Zet  Bi Er.
Seting  pertunjukan  digambarkan  terjadi   di  sebuah pulau berbatu.  Ada  sebuah batu besar di tengah belakang panggung. Sebuah pohon sejenis palm kering di kanan panggung, sebuah tenda kecil  di depan pohon itu, dan  sebuah  undakan bebatuan di  kiri panggung. Karung-karung pasir ditata di bibir panggung, menggambarkan  itu adalah karung-karung pasir untuk  berlindung dari  desingan peluru.
Pertunjukan dibuka   dengan  suara  ombak   dan cahaya temaram, mengisyaratkan  malam. Lalu beberapa sosok  tubuh  melintasi ruangan.  Mereka  saling  waspada satu sama lainnya.  Lalu mereka menghilang. Tak lama kemudian cahaya  berobah terang,  menggambarkan  siang. Lalu adegan pun dimulai.
Naskah ini memaparkan tragedi manusia yang berupaya untuk membebaskan dirinya dari tuntutan nafsu dari  dirinya sendiri. Peristiwa berlatar situasi perang di masa kemerdekaan. Sekelompok tentara digambarkan berada di pulau   kosong itu, sebab kapal  mereka telah mereka karamkan atas perintah  Kapten. Srikandi, istri  si  Kapten  ada dalam rombongan tentara  itu.  Setelah beberapa  lama terdampar di pulau gersang itu, mereka  kehabisan bahan  makanan. Anak buah  Kapten mulai  putus asa. Mereka mulai saling  salah menyalahkan diantara mereka. Keadaan semakin memburuk. Salah seorang dari  mereka menderita sakit. Istri Kapten yang cantik itu menjadi sasaran mimpi birahi  para  serdadu. Situasi  semakin memanas ketika  salah seorang anak buah Kapten ingin menyelamatkan  dirinya sendiri dari pulau  itu, tetapi  si  Kapten menghalanginya. Si Kapten justru menganggap bahwa  keluar dari pulau itu justru bukan merupakan jalan untuk bebas. Kapten itu kemudian bahkan mengorbankan istrinya  sendiri untuk  dijadikan istri oleh  anak  buahnya. Hal itu menimbulkan kekecewaan mendalam pada Sang  Istri. Pertentangan diantara mereka  memuncak  hingga tokoh Sersan terbunuh oleh tokoh Letnan. Peristiwa saling membunuh diantara mereka pun terjadi.   Akhir  cerita, mereka  semua mati,  oleh serbuan  tentara Belanda ke pulau itu. Kematian, adalah kebebasan abadi, seperti diungkapkan oleh si  Kapten di awal adegan.

Tragedi kemanusiaan yang terkandung dalam naskah itu,  dalam pertunjukan ini mengalami berbagai persoalan pemeranan  dan penyutradaraan. Unsur derita yang dialami tokoh tokohnya,  masih terasa kurang  dalam  dihayati  pemain-pemainnya. Dalam tragedi,  semakin dalam unsur derita  ini   dihayati pemainnya, akan semakin  tragis peristiwa-peristiwa yang akan lahir dari pertentangan antar tokoh-tokohnya. Pemeranan terfokus  pada tindak laku luar  tokoh-tokohnya,   bukan pada apa yang menyebabkan tindakan-tindakan itu lahir. Hampir secara  keseluruhan tidak  tergambarkan bahwa mereka sudah dalam tahap kritis,  berhari-hari di pulau  itu  tanpa makanan, dan menghadapi berbagai bahaya yang bersumber  dari luar  dan dari  dalam diri mereka sendiri. Faktor keadaan tertentu  yang berpengaruh  pada  tindakan tokoh-tokohnya itu, cenderung dimunculkan hanya pada saat pertentangan dialog saja. Ketika dialog-dialog selesai, derita yang dialami tokohnya akibat konflik-konflik yang baru dialaminya itu  tidak membekas  pada adegan berikutnya.  Seting  panggung tidak  berfungsi  sebagaimana  diperlihatkan. Di bibir panggung ditata  karung-karung   untuk berlindung dari desingan peluru.  Pada  saat  pulau itu diserbu  musuh,  mereka justru  berlindung di balik batu. Volume efek suara ombak tidak terkontrol, terlalu keras hingga dialog  dialog penting antar tokohnya nyaris tenggelam.

11.  SANGGAR TEATER BIRU
Lakon  Menanti,  karya  Ragil  Biru
Naskah  untuk pertunjukan ini ingin menggambarkan penderitaan yang dialami  sebuah keluarga akibat  perselingkuhan yang dilakukan Ayah, si  pemimpin rumah tangga. Tokoh Fitri, di awal pertunjukan dimunculkan berada  di  atas kursi roda. Ia memaparkan, bahwa ia sudah sejak  lama menanti kebahagiaan dalam rumah tangganya.  Peristiwa-peristiwa  yang kemudian digulirkan di panggung, merupakan kilas balik peristiwanya.

Pertunjukan  drama rumah tangga ini terganggu  oleh konsep ruangnya.  Set dibangun dengan konsep ruang dinding ke empat, dimana penontonnya diandaikan melihat sebuah peristiwa yang terjadi di bagian dalam dari sebuah rumah.  Pilihan  ruang peristiwa, dengan model ruang dimensi ke empat ala teater Eropa abad 19 ini, sebenarnya bisa disiasati lebih jauh – melalui ruang-ruang imaji yang diperkuat melalui pencahayaan.  Sebuah ruang keluarga, bisa dihadirkan  tanpa  menjejali panggung dengan  berbagai  perabotan seperti halnya dalam realita.

Media panggung  memiliki kekuatan ruang imaji tersendiri, yang berbeda dengan ruang-ruang seperti di media film atau televisi.
Melalui kreativitas pemain dalam memperlakukan benda-benda, sebuah kotak persegi,  bisa difungsikan menjadi meja,  kursi, sofa, ketinggian gunung, perahu, dsbnya.  Itu adalah kekuatan teater  yang sesungguhnya. Penonton memiliki kekuatan  imaji juga, untuk  menangkap esensi benda-benda yang  dihadirkan itu.

Dengan  pilihan  ruang teater dengan dimensi  dinding ke empat  itu, segala kehadiran benda-benda dan perabotan di  dalamnya,  menuntut perwujudan yang sesungguhnya.  Dan itu tidak  tergambar baik dalam pertunjukan ini. Garis imaji ruang, terganggu dengan  kehadiran foto-foto berbingkai  yang digantung begitu saja, melebihi  ketinggian dinding setnya. Hal lain yang cukup mengganggu  pertunjukan ini, pembagian ruang di depan pintu  keluar, tampak seperti dipaksakan. Pemainnya nyempil  di sudut ruang, bersentuhan dengan layar samping (side  wing). Selain itu, menghadirkan jalan  ke arah  keluar rumah dengan  melintasi panggung  di  depan ruang itu, merusak imaji dinding ke  empat dari rumah yang digambarkan.

Dalam bermain, para pemainnya tampak berusaha menghayati perannya masing-masing dengan  maksimal. Akan  tetapi, seperti dikatakan oleh kelompok ini  di penghantar tertulis di pertunjukannya,  latihan  untuk pertunjukan  ini tidak berjalan dengan baik. Ini sebuah kejujuran yang tak perlu diungkapkan. Penonton diandaikan tidak memiliki permakluman atas persiapan-persiapan pentasnya.
Hal  yang patut dipujikan dalam pertunjukan  ini, adalah pemeran tokoh Rara, si bungsu yang cacat mental. Ia membuat gerak-gerik yang konsisten sebagai tokoh Rara yang mengalami cacat fisik dan mental, memiringkan  mulut, kaki, dan  menekuk tangan.  Tetapi  sangat disayangkan. Jalinan cerita dalam naskah ini kurang kuat ditampilkan dalam ruang yang  mengganggu imaji itu,   sehingga kehadiran tokoh Rara itu seperti hanya  untuk menambah-nambah sisi dramatis  dari kehancuran rumah tangga.


12.  TEATER  PONDOK CIPTA
Pentas tgl.  30-10-2015  jam 19.00
Charlie,  karya Slamowir Mrozek, terjemahan……….
Naskah ini ditulis Slamowir Mrozek, dramawan  asal Polandia. Naskah ini memiliki hubungan kuat dengan situasi sosial  politik di Polandia setelah Perang Dunia  II. Di masa usia si  pengarang  menginjak remaja, kekuasaan Nazi  Hitler menginvansi negaranya.  Lepas dari invansi Hitler, Polandia jatuh  dalam kekuasaan komunis  Rusia. Charlie yang  dimaksud Slamowir,  bukanlah sekedar nama. Itu sebuah tanda dalam kode  fonetik bahasa (http://www.alphabravocharlie.info/alphabet.php) Charlie, adalah kode fonetik bahasa untuk huruf “C”.  Dalam drama karikatural ini, tokoh “Charlie” itu merupakan tokoh yang dicari-cari  dan akan ditembak oleh tokoh Kakek. Persoalannya, si Kakek  mengalami gangguan mata. Ia memerlukan  kacamata yang dipakai si Dokter mata, untuk bisa melihat “Charlie”. Dokter mata itu adalah  representasi tokoh intelektual. Charlie, di  akhir cerita, digambarkan hanya boneka yang ternyata dirawat oleh kaum intelektual,  si  Dokter.

Dalam pertunjukan ini, tokoh Charlie itu tidak  disiasati lebih jauh melalui kode fonetik bahasa,  yang berhubungan dengan   situasi negara Polandia dibawah bayang-bayang kekuasaan  rezim komunis (C…ommunist) Rusia itu. Tokoh Charlie yang menjadi isu persoalan kemanusiaan  dalam pertunjukan ini menjadi   kabur.  Pertunjukan   menjadi  mengejar  kelucuan-kelucuan fisik para  tokohnya, tanpa dilatari peristiwa-peristiwa yang sangat kental bernuansa politis itu. Dialog-dialog pemain  menjadi terasa absurd, oleh sebab situasi-situasi yang melatari dialog-dialognya kehilangan esensi dari apa yang dimaksud si pengarangnya.

13. TEATER ANTIK
Pentas  tgl.  31-10-2015
Vandalisme, karya/sutradara Hendry Ompong.
Naskah ini mempersoalkan  pertentangan antara Aku,  Ingin, Ego, Birahi, dan kemudian Fragmatis. Ini tampaknya sebuah eksperimen yang bersinggungan  dengan psikologi Freud (Id  - Ego – Super Ego) yang kemudian bersinggungan dengan hal-hal  pragmatis yang terdapat  dalam  diri manusia.   Tokoh Aku digambarkan terpenjara  di suatu  ruang   (pemikiran). Ia  ingin membebaskan dirinya, tapi terhalang oleh berbagai hal yang – bila mengikuti arah alur   naskah ini  -  sebenarnya bersumber dari diri  si Aku itu  sendiri. Tokoh-tokoh  lain di luar si Aku, dimunculkan  dalam wujud karakter Pejabat,  Pengusaha, Pelacur,  pembunuh  misterius, dll.  Seperti halnya yang terjadi dalam hidup itu sendiri, menampakkan wujud manusianya bila manusia dominan dikuasai oleh hanya faktor ego, atau birahi, atau faktor faktor psikologis lainnya.
Ide yang menarik, pertunjukan ini didukung musik Rock. Menyiratkan pemberontakan.
Dalam pertunjukannya, teater ini memilih panggung arena. Ini sebenarnya sebuah pilihan yang bagus. Pentas arena lebih memungkinkan bagi pemain-pemainnya untuk “telanjang”   di hadapan penontonnya, tidak bersembunyi dibalik sorotan lampu dan make-up. Namun, persiapan untuk menghadirkan pertunjukan ini  masih tampak  kurang matang.  Pemilihan seperangkat steiger,  sebagai simbol ruang  yang kokoh dan  mengkungkung tokoh Aku itu, tidak disiasati kembali, misalnya membuat tampilan steiger itu menjadi netral, sehingga benda itu mampu melampaui imaji yang melekat  di benda  itu sendiri. Kemunculan tokoh  Bodoh, yang membagi masker  ke penonton,  berbarengan dengan  laku beberapa  pemain lain yang kemudian mengenakan masker juga, ingin  mempertegas bahwa tokoh   Bodoh itu  lah yang banyak menimbulkan kerusakan pada alam. Momen itu dipertegas dengan  latar musik rock yang memprihatinkan kondisi alam kini.

Pemilihan bentuk Physical Theater (Teater Tubuh) yang juga terdapat dalam pertunjukan Teater Trompah, kurang mendapat  dukungan dari tubuh itu sendiri. Tubuh tidak muncul menyatakan pengalaman-pengalaman personalnya dan  menggugat keberadaannya dalam ruang kekinian.  Tema  di luar tubuh tidak sebanding dengan  pengalaman  personalnya.
Catatan tambahan:
Ada hal menarik dan sering jadi perdebatan dalam ajang festival ini dari tahun ke tahun. Yakni tentang fenomena genre  teater tubuh (physical theater) yang dianggap  lebih  mampu mewadahi kekinian. Rangkaian kemunculan berbagai  genre teater, yang  bersinggungan   dengan filsafat yang  menyertainya itu, merupakan aplikasi dari kebudayaan teater  yang berkembang  di  belahan dunia barat. Dimulai dari mazhab romantik Shakespeare – realisme Stanislavskian  - ekspresionisme dan alienasi Brecht – absurdisme  Becket – Grotowskian,  sampai   ke genre teater antropologi Eugenio Barba. Berbagai genre  teater  itu   masuk bersamaan di tahun 70-an ke Indonesia,  melalui proyek terjemahan karya-karya sastra mancanegara yang dilakukan Lembaga Penterjemah Indonesia.  Kita tidak  mengalami  proses  dialektika yang menyertai  kehadiran setiap genre  itu. Dan  itu  masuk begitu saja  tanpa melalui kajian perdebatan yang terjadi di  jagad  teater itu. Hal ini  menimbulkan kontroversi  berkepanjangan, menimbulkan  kegagapan-kegagapan dan fanatisme  yang  merugikan  perkembangan jagad  teater di Indonesia. Ini ironi pahit. Teater di Eropa yang  banyak diilhami keberagaman teater timur,  tumbuh jadi  kaya dan beragam.  Sebaliknya  teater  di  Indonesia  yang semula kaya  dan beragam,   berjalan  menuju ke kemiskinan,  seragam.
Hal  lain, dalam sistem  penjurian, selalu  menimbulkan kontoversi  juga. Oleh sebab  berbagai genre teater  yang ada itu  berada  di satu even  yang sama. Setiap genre teater membutuhkan   cara  pandang dan  estetika  berbeda. Ini seperti dalam analogi mempertemukan  berbagai  genre  musik di even festival. Seharusnya  bisa dibayangkan bahwa festival  itu akan  berlangsung meriah  dalam keberagaman. Ada musik klasik,  rock,  jazz,  yang  memiliki  estetikanya sendiri. Festival ini, harus mampu tumbuh menerima keberagaman estetika itu.
Tidak  seluruh tampilan musik klasik  itu bagus. Ada  juga  yang  ditampilkan  jelek. Begitupun  dengan musik Jazz, atau  Rock,  atau  genre (aliran)  musik  lainnya. Dan bila kita kembalikan  analogi itu  ke teater, adalah celaka, bila  misalnya  teater realis  yang bagus dibanding-banding dengan teater tubuh  yang  jelek. Atau sebaliknya, teater tubuh yang bagus dibanding-banding dengan  tampilan  teater  realis yang jelek. Itu hanya melahirkan  kesempitan  dalam  berpikir dan cenderung menjadi rezim baru yang  berbahaya untuk keberagaman  teater. Teater  harus dibebaskan. Ia  dilahirkan  dari keringat latihan dan kesungguh-sungguhan.

Mudah-mudahan, di tahun-tahun mendatang, kita bisa  menumbuhkan  teater  kita sendiri, lebih  beragam, tanpa tersandung-sandung dengan citarasa dan estetika  yang  terganjal  oleh  fanatisme-fanatisme  buta  itu.   


Salam.

0 komentar:

Posting Komentar