Catatan Festival Teater Jakarta Timur 2015
Azuzan JG
Festival Teater Jakarta Timur 2015
ini berlangsung di Pusat Latihan Kesenian, Jl. Hj. Naman No. 17 Jakarta Timur.
Festival teater ini diikuti oleh 13 grup teater. Setiap hari berlangsung 2 pementasan. Pada hari terakhir hanya 1 grup yang tampil. Tgl. 31 Oktober, malam harinya, merupakan acara penutup sekaligus pengumuman hasil festival. Dewan Juri telah membuat evaluasi umum pelaksanaan FTJ Jaktim 2015. Catatan ini adalah catatan pelengkapnya.
Festival teater ini diikuti oleh 13 grup teater. Setiap hari berlangsung 2 pementasan. Pada hari terakhir hanya 1 grup yang tampil. Tgl. 31 Oktober, malam harinya, merupakan acara penutup sekaligus pengumuman hasil festival. Dewan Juri telah membuat evaluasi umum pelaksanaan FTJ Jaktim 2015. Catatan ini adalah catatan pelengkapnya.
1.
TEATER TUKANG
Pentas Tgl. 25-10-2015 Jam 13.00
Naskah: Kursi Kisruh, karya/sutradara Rian Hamzah
Kelompok teater ini datang dengan sebuah konsep ruang yang
cukup menjanjikan pertunjukan teater inovatif. Di atas panggung prosenium
bertebaran kursi-kursi. Beberapa kursi digantung. Kursi untuk penonton dibuat
acak, tidak beraturan. Gambaran peristiwa teater yang akan disuguhkannya cukup
mencuat. Terlebih, ketika si pemain yang juga sebagai sutradara, bertindak
sebagai narator, membuka pertunjukan. Lalu ada saweran, dimaksudkan untuk
amal, membantu ppertunjukan.
Ada kesadaran kuat akan kondisi sosial kemanusiaan dari kelompok
ini. Itu tampaknya menjadi dorongan peristiwa-peristiwa teater yang akan
disuguhkan. Adegan demi adegan pun bergulir. Serombongan orang muncul di
panggung saling berebut kursi sambil
berucap: “Punyaku…. punyaku” Lalu adegan berlanjut ke berbagai dialog yang menyiratkan bahwa kursi-kursi yang dimaksud adalah simbol dari
kedudukan, jabatan. Fenomena sosial politik yang tengah terjadi saat ini ingin
dihadirkan di peristiwa-peristiwa teaternya.
Adegan cukup menarik dari kelompok ini, ketika dua tokoh berdesakan di sebuah bak sampah yang kecil. Kedua tokoh itu saling berebut untuk keluar. Lalu ada kalimat-kalimat berhamburan dari mereka: “dimana kita?” yang lain menjawab: “Di rahim peradaban”
Gagasan pertunjukan yang ingin disampaikan kelompok Teater Tukang ini sebenarnya sangat jelas, menyoroti perilaku para politisi yang saling berebut jabatan, yang akhirnya berakibat buruk bagi kehidupan. Akan tetapi, peristiwa demi peristiwa teater yang dihadirkannya,cenderung diselesaikan melalui kalimat kalimat verbal,tanpa dibarengi laku yang dalam. Tubuh-tubuh para pemain yang tampak, belum maksimal mencuatkan parahnya kerakusan manusia akan jabatan yang sangat transparan dalam kehidupan itu. Kursi membuat persaudaraan menjadi hilang, seperti yang diucapkan salah seorang pemainnya, itu tidak tergambarkan maksimal dalam laku di atas panggungnya. Benda-benda properti, kursi, yang menjadi simbol ungkapan ekspresinya, tidak diupayakan dibuat dalam wujud netral (misalnya membungkusnya dengan kain kemain, sehingga imaji wujudnya tidak direbut oleh imaji kursi yang lebih menyiratkan kursi biasa yang dipakai dalam sebuah perhelatan)
Adegan cukup menarik dari kelompok ini, ketika dua tokoh berdesakan di sebuah bak sampah yang kecil. Kedua tokoh itu saling berebut untuk keluar. Lalu ada kalimat-kalimat berhamburan dari mereka: “dimana kita?” yang lain menjawab: “Di rahim peradaban”
Gagasan pertunjukan yang ingin disampaikan kelompok Teater Tukang ini sebenarnya sangat jelas, menyoroti perilaku para politisi yang saling berebut jabatan, yang akhirnya berakibat buruk bagi kehidupan. Akan tetapi, peristiwa demi peristiwa teater yang dihadirkannya,cenderung diselesaikan melalui kalimat kalimat verbal,tanpa dibarengi laku yang dalam. Tubuh-tubuh para pemain yang tampak, belum maksimal mencuatkan parahnya kerakusan manusia akan jabatan yang sangat transparan dalam kehidupan itu. Kursi membuat persaudaraan menjadi hilang, seperti yang diucapkan salah seorang pemainnya, itu tidak tergambarkan maksimal dalam laku di atas panggungnya. Benda-benda properti, kursi, yang menjadi simbol ungkapan ekspresinya, tidak diupayakan dibuat dalam wujud netral (misalnya membungkusnya dengan kain kemain, sehingga imaji wujudnya tidak direbut oleh imaji kursi yang lebih menyiratkan kursi biasa yang dipakai dalam sebuah perhelatan)
Dalam teater tubuh, kehadiran
benda-benda, segala apa-apa yang
terlihat dan terdengar, tidak dihadirkan begitu
saja. Ia mempresentasikan simbol atau pertanda, melampaui teks yang ingin
memaknainya. Dalam pentas ini,
simbol kursi yang ingin dilampaui penampakan kursi itu sendiri kurang
muncul. Makna kursi yang dihadirkan itu mengalami hambatan , oleh sebab ia
tidak melalui proses penetralan benda,
dan tampaknya tidak menyertai proses
latihannya. Kenapa tidak, kursi yang dipakai dalam proses latihan
itu yang dihadirkan? Perlakuan
akan benda yang jadi alat ungkap
ekspresi ini jadi terlihat
berhati-hati. Padahal, dalam gagasan
pertunjukannya cukup menarik. Terutama di
bagian akhir. Sang Tokoh menemui
nasibnya, ditimbun oleh kursi-kursi yang merupakan simbol dari jabatan, kekuasaan itu sendiri.
2.
TEATER PINTU KERETA
Pentas tgl. 25 Oktober 2015 Jam 19.00
Lakon: Dan Siapa
Nama Aslimu, karya Komunitas Berkat Yakin
Lampung.
Panggung untuk pertunjukan
dimaksudkan berbentuk arena. Panggung prosenium dijadikan tempat duduk
penonton. Dibagian belakang panggung arena ada
sebuah bentuk box besar yang
dibungkus kain putih. Di atasnya seorang pemain memegang payung, duduk
bersila. Yang lain bergelantungan.
Di bagian langit-langit panggung ada sebuah tangga bambu. Di lantai panggung
arena, beberapa pemain wanita, berkostum sama dengan kostum bernuansa warna merah, berpayung merah, membentuk formasi simetris
dan seimbang. Hal menonjol dari
pertunjukan teater ini, adegan demi adegan mengalir dinamis dalam berbagai
komposisi-komposisi panggung yang menarik untuk ditonton.
Naskah ini bersumber dari sebuah kelompok teater berbasis studi teater yang cukup serius di Lampung. Antara karakterisasi tokoh dan peristiwa yang dialaminya, berbaur dengan komposisi-komposisi artistik yang dibangun dari kebersamaan pemain.
Satu hal yang terabaikan dari pertunjukan yang disajikan Pintu Kereta ini, suara bunyi-bunyian dan musik pendukung pertunjukannya terlalu dominan, berkali-kali menenggelamkan ucapan-ucapan pemainnya.
Koor yang disampaikan pemainnya sering berjalan dalam tempo ucapan yang tidak sama. Ditambah dengan persoalan keseimbangan bunyi-bunyian dengan suara pemain, informasi peristiwa melalui koor itu menjadi tidak jelas diartikulasikan. Komposisi demi komposisi bertabrakan dengan teks-teks yang berhamburan. Beberapa pemain, kurang menyadari ruang bermainnya, bahwa selama ia masih terlihat oleh penonton, ia menjadi bagian dari pertunjukan yang tengah mengalir. Yang terlihat adalah, intensitas beberapa pemain muda itu mengendur begitu ia berada di pinggir arena. Itu mengganggu jalannya ritual teater, yakni ritual kebersamaan mengalami peristiwa yang tengah berlangsung di pentas.
Naskah ini bersumber dari sebuah kelompok teater berbasis studi teater yang cukup serius di Lampung. Antara karakterisasi tokoh dan peristiwa yang dialaminya, berbaur dengan komposisi-komposisi artistik yang dibangun dari kebersamaan pemain.
Satu hal yang terabaikan dari pertunjukan yang disajikan Pintu Kereta ini, suara bunyi-bunyian dan musik pendukung pertunjukannya terlalu dominan, berkali-kali menenggelamkan ucapan-ucapan pemainnya.
Koor yang disampaikan pemainnya sering berjalan dalam tempo ucapan yang tidak sama. Ditambah dengan persoalan keseimbangan bunyi-bunyian dengan suara pemain, informasi peristiwa melalui koor itu menjadi tidak jelas diartikulasikan. Komposisi demi komposisi bertabrakan dengan teks-teks yang berhamburan. Beberapa pemain, kurang menyadari ruang bermainnya, bahwa selama ia masih terlihat oleh penonton, ia menjadi bagian dari pertunjukan yang tengah mengalir. Yang terlihat adalah, intensitas beberapa pemain muda itu mengendur begitu ia berada di pinggir arena. Itu mengganggu jalannya ritual teater, yakni ritual kebersamaan mengalami peristiwa yang tengah berlangsung di pentas.
Penempatan pemusik di bagian kanan belakang panggung arena, jauh dari posisi penontonnya, mungkin menjadi sebab para pendukung bunyi—bunyian itu kesulitan mengatur keseimbangan efek-efek suaranya. Ini memang persoalan teknis. Tetapi gagasan pemanggungan teater yang kelihatan bagus dan inovatif secara visual ini, jadi tidak muncul secara jernih. Kreatifitas pemanggungan dan kekompakan pemain dalam koor, menjadi terganggu karenanya. Padahal, kelompok ini terlihat terorganisir cukup rapi. Kurang lebih 20 pemain dan orang-orang di belakang panggung tampak saling bahu membahu, bekerjasama untuk menampilkan adegan demi adegan yang digulirkan. Saat-saat tangga diturunkan, pemain bergelantungan di atasnya, saat-saat daun-daun kering jatuh dari para-para, kesemuanya seharusnya mampu memunculkan kesan visual yang puitik. Tapi ya itu tadi, unsur audio nya tidak seimbang dengan vokal pemain. Volume bunyi-bunyiannya terlalu keras. Dan itu merusak teks-teks pertunjukannya. Konsekwensi menyampaikan teks melalui suara pemain, tentu saja suaranya harus terdengar jelas dari berbagai sisi penontonnya.
3. TEATER TROMPAH:
Pentas tgl. :
26-10-2015 Jam 13.00
Lorong, karya Phutut Buchori
Persoalan masyarakat miskin di
perkotaan menjadi sorotan naskah ini. Peristiwa demi peristiwa dalam naskah coba
menggambarkan keseharian hidup masyarakat
di tempat itu dengan berbagai
masalahnya. Ketenangan masyarakat miskin itu terusik sehubungan dengan masuknya
pemilik modal yang bersiasat untuk menguasai lahan pemukiman penduduk itu.
Cerita diakhiri dengan dikalahkannya kaum miskin perkotaan tanpa perlawanan berarti.
Dalam pemanggungannya, kelompok teater ini terlalu ringan memunculkan konflik kemanusiaan yang tengah terjadi itu. Jalinan peristiwa demi peristiwa di dalamnya tidak sampai pada konflik yang memuncak dan memberi stimulan pada jiwa pemain-pemainnya untuk bangkit dan bertindak. Setiap benih konflik yang mulai ada, cenderung diselesaikan dengan ucapan bernada tipikal: “……sudah, pokoknya, bagaimanapun…” Naskah yang ditulis bergaya realis ini lemah dalam struktur dramatiknya. Para pemain kehilangan pegangan untuk beranjak dari titik konflik satu ke titik konflik berikutnya.
Dalam pemanggungannya, kelompok teater ini terlalu ringan memunculkan konflik kemanusiaan yang tengah terjadi itu. Jalinan peristiwa demi peristiwa di dalamnya tidak sampai pada konflik yang memuncak dan memberi stimulan pada jiwa pemain-pemainnya untuk bangkit dan bertindak. Setiap benih konflik yang mulai ada, cenderung diselesaikan dengan ucapan bernada tipikal: “……sudah, pokoknya, bagaimanapun…” Naskah yang ditulis bergaya realis ini lemah dalam struktur dramatiknya. Para pemain kehilangan pegangan untuk beranjak dari titik konflik satu ke titik konflik berikutnya.
Proyeksi dan artikulasi, yang
merupakan persoalan mendasar dalam kebutuhan bermain di atas panggung, tidak
dikuasai para pemainnya dengan baik. Hanya
pemeran Prantoro yang suaranya
bisa didengar. Tetapi ucapannya tidak didukung pergolakan di dalam batinnya.
Teks sekedar informasi apa yang dilakukannya. Para pemain lain seperti bergumam. Adegan demi adegan berjalan tanpa
enerji. Datar. Hanya ada obrolan-obrolan ringan biasa diselingi kelucuan-kelucuan
yang sia-sia. Di akhir pemanggungan, berbagai
set panggungnya dirubuhkan sebagai bagian dari adegan penggusuran. Itu
tidak jadi peristiwa yang menggetarkan,
sebab peristiwa sebelumnya tidak terbangun. Tidak terjadi interaksi
antar unsur kehidupan dengan muatan-muatan keterampilan indvidu dalam
berekspresinya.
4. TEATER BARU
Pentas tgl. 26-10-2015 jam
19.00
Uhibbuka, karya/sutradara: R. Tono
Ini persoalan cinta manusia yang tak
tersampaikan. Yang satu berharap pada yang lain, dan yang lain memberi harapan
tetapi akhirnya berbuah kepedihan: “aku mencintaimu, tapi kau bukan jodohku”
Puncak kesadaran tokoh Bara akan rasa cinta pada kekasihnya itu terjadi di akhir cerita, setelah tokoh itu berada di alam fana.
Puncak kesadaran tokoh Bara akan rasa cinta pada kekasihnya itu terjadi di akhir cerita, setelah tokoh itu berada di alam fana.
Uhibukka (aku cinta padamu) oleh Teater
Baru ini dimainkan secara musikal. Di saat tokoh-tokohnya mengalami konflik
batin yang kuat oleh persoalan cinta yang dihadapinya, tokoh itu mengungkapkan
perasaannya dengan bernyanyi.
Naskah ini dibuat secara fragmentaris. Berupa potongan-potongan peristiwa non-linear. Ada lompatan-lompatan ruang dan waktu. Di satu saat Tokoh Bara bertemu kekasihnya, disaat berikut ia sudah berada di alam fana.
Naskah ini dibuat secara fragmentaris. Berupa potongan-potongan peristiwa non-linear. Ada lompatan-lompatan ruang dan waktu. Di satu saat Tokoh Bara bertemu kekasihnya, disaat berikut ia sudah berada di alam fana.
Kelompok teater ini coba membeber
peristiwa-peristiwa teaternya melalui pemanggungan yang minimalis. Panggung
ditata sederhana. Ruang panggung dibagi dua secara simetris dengan undakan di
bagian belakang panggung. Melalui
setting dan bloking yang sangat minim ini, para pemainnya tampak bermain tidak
pada ruang nyata. Mereka terfokus pada ruang peristiwa yang terjadi dalam batin
tokoh-tokohnya. Ini merupakan sebuah pilihan yang beresiko mempersempit
kekayaan ruang-ruang penceritaannya.
Pemeran Bara dan Dewi bermain cukup menonjol. Pemain lain juga tampak bisa merasakan konflik-konflik batin yang diderita tokoh-tokohnya akibat cinta. Pada beberapa bagian, saat pemeran Ning bernyanyi, ia kadang-kadang keluar dari nada dasar nyanyiannya. Hal itu tertolong di saat berdialog, ia cukup intens mendalami perannya. Hal lain yang menjadi sendatan-sendatan kecil dalam pertunjukan ini, peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya kurang lancar. Irama pertunjukan yang musikal itu sedikit terganggu karenanya.
Pemeran Bara dan Dewi bermain cukup menonjol. Pemain lain juga tampak bisa merasakan konflik-konflik batin yang diderita tokoh-tokohnya akibat cinta. Pada beberapa bagian, saat pemeran Ning bernyanyi, ia kadang-kadang keluar dari nada dasar nyanyiannya. Hal itu tertolong di saat berdialog, ia cukup intens mendalami perannya. Hal lain yang menjadi sendatan-sendatan kecil dalam pertunjukan ini, peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya kurang lancar. Irama pertunjukan yang musikal itu sedikit terganggu karenanya.
5.
Dr. Teater
Pentas tgl. 27-10-2015 jam 13.00
Pentas tgl. 27-10-2015 jam 13.00
Hitam Putih Cinta, karya
Endin Sas
Kembali ke persoalan mendasar. Naskah
pertunjukan ini tidak mampu
membangkitkan naluri bermain para
pemerannya. Persoalan yang diungkapkan dalam naskah melebar dan
melompat-lompat. Ada semangat untuk keluar dari kelaziman bercerita
yang linear. Tetapi lompatan-lompatan itu begitu liarnya. Menjadi sulit untuk dikuasai oleh pemainnya. Hal-hal remeh
temeh dihadirkan. Dari soal listrik mati, menelpon kesana-kemari untuk hal-hal
biasa. Setiap persoalan yang diungkap
tidak memiliki fokus. Pada saat tokoh
Puji Smara masuk dan minta tolong pada Dewa Lio sebab ia merasa terancam
hidupnya, itu seperti bukan peristiwa penting. Persoalan itu melompat begitu
saja ke masalah Tuhan. Lalu tokoh PujiSmara, yang semula
dikatakannya merasa terancam – oleh sebab yang tidak jelas, ditinggalkan begitu saja oleh Dewa Lio.
Beberapa peristiwa dibangun seadanya.
Saat di ruang itu digambarkan ada api dan si tokoh berupaya memadamkannya, aksi
yang muncul hanya sekedarnya. Di
panggung teater, api itu boleh tidak
ada. Tetapi kehadiran api itu bisa
jadi ada melalui kekuatan imaji
pemainnya. Yang terjadi adalah kepanikan-kepanikan mekanis, tanpa penghayatan terhadap peristiwa kebakaran yang dimunculkan. Kehadiran peristiwa demi peristiwa
tampak dipaksakan. Lalu di bagian
akhir pertunjukan, digambarkan bahwa
semua peristiwa itu hanya mimpi.
Agaknya, pertunjukan ini ingin
menyampaikan bahwa sebagaimana mimpi itu sendiri, ruang dan waktu menjadi
hablur. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
bisa datang dan pergi begitu saja tanpa musabab. Meski begitu, dalam konteks
teater, apa-apa yang ditampakan dan didengarkan di panggung itu
adalah sebuah peristiwa. Ada sebuah
gagasan yang ingin disampaikan melalui peristiwa-peristiwa. Itu yang tidak muncul dalam pementasan ini. Modal
dasar bagi pemain, alat-alat ekspresi tubuh dan suara, tidak dipersiapkan
dengan baik. Ekspresi panggungnya
jadi lemah. Di satu bagian, tata
cahayanya muncul cukup efektif, saat si pemeran Panjismara nembang. Pencahayaan di beberapa adegan lainnya kewalahan,
tidak mampu memunculkan berbagai ruang yang
melompat-lompat di alam mimpi itu.
6.
SANGGAR TEATER JERIT
Pentas tgl. 27-10-2015 jam 19.00
Pentas tgl. 27-10-2015 jam 19.00
Arwah-Arwah, WB
Yeats, saduran Saini KM
Setting panggung digarap cukup
serius. Di sisi kiri panggung ada puing bangunan tua. Di sebelahnya sebuah pohon besar. Cahaya
mencercah dari atas, memunculkan kesan misteri yang kuat. Pertunjukan dibuka dengan cercahan cahaya bergantian seiring
musik, menampakkan sosok-sosok yang mengesankan sebagai arwah-arwah di ruang itu. Arwah-arwah itu
hilang dan muncul bergantian. Lalu dua orang tokoh tiba di
tempat itu. Tokoh Orang Tua bisa
melihat arwah-arwah yang bergentayangan di tempat itu. Tokoh anak tidak
melihatnya. Aksi-aksi panggung yang melahirkan berbagai peristiwa itu
berpeluang hadir lebih memikat.
Gagasan yang terkandung dalam
naskah cukup jelas. Arwah-arwah itu
bukan sekedar arwah orang mati. Itu bisa memiliki tafsir ganda. Arwah
adalah juga sebagai simbol dari sebuah kebudayaan yang sudah mati, tetapi memiliki
pengaruh kuat dalam kehidupan yang
tengah berjalan. Indikasi tafsir ganda itu
terdapat di akhir cerita. Saat si tokoh Orang Tua membunuh anaknya, ia
berucap: “…kubunuh anak itu karena ia
telah tumbuh. Ia akan mematahkan nasib seorang perempuan, membuahinya dan
melanjutkan keonaran” Tafsir terhadap
teks penutup ini bisa memperkaya pengadeganannya.
Berbagai lapis penafsiran yang terkandung dalam naskah itu luput dimunculkan. Arwah ditafsir kelompok teater ini sebagai arwah biasa dalam kepercayaan masyarakat timur. WB Yeats, si pengarang, adalah seorang penyair dengan latar budaya yang mengedepankan rasionalitas dalam hidupnya. Bila arwah itu pilihan tafsirnya, yakni arwah dalam kepercayaan masyarakat timur, penggarapan lalu-lalang arwah-arwah itu kurang diperhitungkan. Padahal ketegangan dramatik (suspence) bisa dimunculkan melalui interaksi intens antara tokoh Orang Tua dengan keberadaan arwah-arwah yang senantiasa membayang-bayangi langkahnya.
Berbagai lapis penafsiran yang terkandung dalam naskah itu luput dimunculkan. Arwah ditafsir kelompok teater ini sebagai arwah biasa dalam kepercayaan masyarakat timur. WB Yeats, si pengarang, adalah seorang penyair dengan latar budaya yang mengedepankan rasionalitas dalam hidupnya. Bila arwah itu pilihan tafsirnya, yakni arwah dalam kepercayaan masyarakat timur, penggarapan lalu-lalang arwah-arwah itu kurang diperhitungkan. Padahal ketegangan dramatik (suspence) bisa dimunculkan melalui interaksi intens antara tokoh Orang Tua dengan keberadaan arwah-arwah yang senantiasa membayang-bayangi langkahnya.
Oleh sebab kehadiran arwah-arwah itu tidak tergarap dengan baik, para pemeran arwah ada yang kehilangan kontrolnya saat bermain. Ia
menabrak pohon besar yang jadi set dekor hingga pohon itu rubuh. Imaji ruang dan peristiwa yang semula terbangun, nyaris
jadi rubuh juga. Itu tertolong, sebab kedua pemain utamanya tidak terpengaruh
oleh rubuhnya pohon itu. Mereka melanjutkan
permainannya hingga usai.
7. TEATER CAMMUS
Pentas tgl. 28-10-2015 jam
13.00
Meja
Makar, karya Reza Remon Ghazaly.
Gagasan yang terkandung dalam naskah
yang khusus ditulis untuk kelompok
teater ini, ingin menyorot tajam kerakusan para
pemilik modal, yakni masyarakat kelas atas yang bersekongkol dengan
pejabat pemerintah untuk mengeruk keuntungan. Setting pertunjukan
digambarkan terjadi di sebuah
restoran mewah. Para pelaku bisnis,
kaum kelas atas itu berkumpul untuk membangun bisnis teknologi
komunikasi. Peristiwa teaternya coba
digulirkan di ruangan itu.
Konsentrasi untuk pertunjukan
ini terlalu terfokus pada segi artistik: setting, make-up dan
kostumnya. Sebuah restoran berkesan
mahal dibangun di panggung. Sebuah lukisan berukuran besar menjadi latar belakangnya.
Kostum pemain dibuat seperti kostum badut, penuh hiasan warna-warni bermotif bundar dan persegi. Tata
rias pemain seperti laiknya
badut. Memakai bedak dasar putih tebal dengan garis-garis wajah untuk
mempertegas karakter-karakternya.
Ada kesadaran kuat dari kelompok ini untuk menyampaikan pertunjukannya dengan gaya karikatural. Namun, upaya itu tidak diimbangi dengan penggarapan naskahnya.
Pemain-pemainnya hampir keseluruhan,
dari awal hingga akhir pertunjukan
seperti saling menunggu giliran untuk
berdialog. Stilisasi ucapan dan gerakan
karikatural tidak muncul. Hanya ada
satu pemeran wanita dari
kelompok ini yang tampak punya potensi bermain bagus.
Dengan pemilihan bentuk penceritaan yang disusun
melalui interaksi dialog-dialog, aksi dan reaksi menjadi penting. Dengan
kondisi saling menunggu giliran berdialog itu, aksi dan reaksi itu tidak
terjadi dan sulit melahirkan sebuah
peristiwa teater. Segala tawa dan gerak-gerik para pemain menjadi
artifisial. Seperti dipaksakan, bahwa itu harus dilakukan seperti itu. Tidak
ada kreatifitas dan spontanitas bermain yang muncul.
Lagi-lagi persoalan naskah jadi problem utama. Benih-benih gagasan yang ingin menyoroti kerakusan masyarakat kelas atas itu, tidak dituangkan melalui laku peristiwanya. Melainkan diselesaikan begitu saja melalui ucapan-ucapan verbal. Naskah terlalu cerewet ingin menyelesaikan segala persoalan melalui kata-kata. Struktur naskah sebenarnya ada. Intrik-intrik diantara kaum kelas menengah atas itu dihadirkan semakin memuncak hingga menimbulkan korban diantara mereka sendiri. Akan tetapi, pada saat mereka kemudian saling mengeluarkan senjata apinya, dan saling mengancam untuk membunuh satu sama lainnya, kehadiran benda-benda pembunuh manusia itu tidak terkesan berbahaya. Para pemerannya tidak memperlakukan benda-benda properti itu secara meyakinkan bahwa itu adalah senjata api yang membahayakan jiwa.
Mereka hanya menghafal dialog-dialog yang akan diucapkan, bukan menghayati peristiwa-peristiwa yang menyebabkan dialog-dialog itu muncul. Masalahnya berputar-putar disitu. Mereka tidak bisa menghayati peristiwa teaternya, sebab peristiwanya sudah keburu diselesaikan melalui kata-kata. Bangunan peristiwa yang kemudian dimunculkan, tidak memiliki landasan yang kokoh dari peristiwa sebelumnya.
Lagi-lagi persoalan naskah jadi problem utama. Benih-benih gagasan yang ingin menyoroti kerakusan masyarakat kelas atas itu, tidak dituangkan melalui laku peristiwanya. Melainkan diselesaikan begitu saja melalui ucapan-ucapan verbal. Naskah terlalu cerewet ingin menyelesaikan segala persoalan melalui kata-kata. Struktur naskah sebenarnya ada. Intrik-intrik diantara kaum kelas menengah atas itu dihadirkan semakin memuncak hingga menimbulkan korban diantara mereka sendiri. Akan tetapi, pada saat mereka kemudian saling mengeluarkan senjata apinya, dan saling mengancam untuk membunuh satu sama lainnya, kehadiran benda-benda pembunuh manusia itu tidak terkesan berbahaya. Para pemerannya tidak memperlakukan benda-benda properti itu secara meyakinkan bahwa itu adalah senjata api yang membahayakan jiwa.
Mereka hanya menghafal dialog-dialog yang akan diucapkan, bukan menghayati peristiwa-peristiwa yang menyebabkan dialog-dialog itu muncul. Masalahnya berputar-putar disitu. Mereka tidak bisa menghayati peristiwa teaternya, sebab peristiwanya sudah keburu diselesaikan melalui kata-kata. Bangunan peristiwa yang kemudian dimunculkan, tidak memiliki landasan yang kokoh dari peristiwa sebelumnya.
8. TEATER ZAT
Pentas tgl. 28-10-2015 jam 19.00
Digugu dan Ditiru, karya Gugum Okta
Riansyah.
Adegan demi adegan bergerak dinamis
dalam pertunjukan bergaya musikal. Pertunjukan
dibuka oleh tokoh si Tukang Cerita. Semula panggung prosenium kosong.
Tukang Cerita masuk bersama serombongan kru panggung. Sambil menghantar
jalannya cerita, setting pertunjukan dipersiapkan. Lalu musik berirama Flamenco
membahana, mengiringi masuknya tokoh-tokoh cerita: Pertiwi, Penari, Saksi-Saksi
dan tokoh Nusantara. Cerita berkisah tentang
tokoh Pertiwi yang sedang diadili, sebab kekeliruan tindak-tanduknya
sebagai Guru dihadapan anak-anak
didiknya. Melalui adegan kilas balik peristiwa, Pertiwi semula digambarkan sebagai murid yang kritis dan memiliki
cita-cita mulia untuk memperbaiki sistem pengajaran. Namun, setelah ia sendiri menjadi guru, ia
menjiplak perilaku guru sebelumnya. Ia sendiri justru melanjutkan perilaku yang
membuat anak-anak didiknya tidak berdaya.
Digugu dan Ditiru ini mempersoalkan motivasi seorang
manusia (Pertiwi) untuk menjadi Guru, ditengah-tengah kondisi Indonesia kini.
Kondisi kini digambarkan melalui lagu Garuda Pancasila ala Hary Roesli. Penuh
ironi. Dan melalui praktek belajar—mengajar yang salah kaprah.
Pengadeganan (mise en scene) dalam
pertunjukan ini sebenarnya bisa berjalan dinamis dan memikat dari awal hingga akhir pertunjukan. Ada
kekompakan dalam bermain bersama,
terutama dalam menyampaikan dialog-dialog berbentuk koor dan nyanyian. Para pemainnya berusaha untuk bisa menyampaikan dialog-dialognya secara jelas.
Namun oleh karena disaat yang sama mereka juga harus
mengimbangi bunyi musik, sepanjang pertunjukan para pemainnya nyaris
berteriak-teriak dalam menyampaikan problem guru yang mereka hadapi.
Disatu saat, musik cukup berfungsi
baik sebagai pengiring nyanyian-nyanyian. Disaat lain, bunyi-bunyi musik yang seharusnya ikut membangun suasana cerita, justru mengganggu ucapan pemainnya. Keseimbangan
volume musik dengan pemain-pemain yang sedang berdialog sering lolos dari
perhatian penggarapannya.
Dalam segi bermain dan
penyutradaraan, ada beberapa bagian yang fatal, terkesan berpanjang-panjang dan
berupa pengulangan-pengulangan. Itu
terutama mencuat di antara satu
adegan ke adegan berikutnya, saat si Tukang Cerita menyelingi cerita. Itu
sangat merugikan ekspresi pertunjukan
yang semula sudah terbangun. Terlebih di bagian akhir, saat Pertiwi akan
dihukum mati. Tokoh Si Tukang Cerita terlalu besar mengambil porsi
pengadeganan yang tak perlu. Di satu
sisi ia bermain cukup dinamis dan mampu menjalin komunikasi dengan penontonnya. Tetapi disisi lain, ia memperpanjang-panjang
komentarnya. Menjauhi inti cerita.
Editing, pemotongan untuk
adegan-adegan yang situasinya
berulang dan berpanjang-panjang seperti
itu, seharusnya dilakukan untuk
menjadikan pertunjukan ini tampil lebih padat dan memikat. Unsur dalam beberapa pemain, yang
meliputi imajinasi dan konsentrasinya sudah cukup terjaga. Di momen
lain, peristiwa-peristiwa teater yang
muncul melalui aksi-reaksi seimbang tokoh-tokohnya, terganggu oleh tawa Nusantara. Pemeran Nusantara selalu mendahulukan tawanya
sebelum berdialog. Tawanya terdengar sangat dibuat-buat. Itu berakibat adegan-adegan yang tengah berlangsung jadi
ikut terasa dibuat-buat. Apakah itu memang bermaksud bahwa Nusantara itu
(sebagai simbol dari negara) adalah juga
dibuat-buat? Bila itu
pilihannya, itu sebuah pilihan yang beresiko
mementahkan kesungguh-sungguhan adegan pengadilan Pertiwi. Selebihnya, yang patut dicatat dari kemunculan grup teater ini, adalah
semangat dan stamina bermainnya. Semangat bermain bersama itu seperti tidak
surut sampai akhir pertunjukannya.
9. TEATER KUNCI
Pentas tgl. 29-100-2015 jam 13.00
Naskah: Fraksi Kolong Jembatan, adaptasi lakon RT Nol RW Nol, karya Iwan Simatupang.
Naskah ini ditulis Iwan Simatupang
tahun 1966, berlatar masyarakat miskin di perkotaan, mempertentangkan hal eksistensi
manusia. Peristiwa teater dalam naskah
ini dipicu pertentangan antara dua
tokoh: Tokoh Kakek dan Tokoh Si Pincang. Tokoh Kakek
merupakan seorang penghayal. Tidak
menyerah untuk terus menerus memupuk harapan-harapannya pada apa-apa
yang tidak dimilikinya dalam hidup
nyata. Tokoh si Pincang memandang
kehidupan itu lebih realistis. Tokoh-tokoh lainnya digambarkan tidak memiliki
sikap yang jelas. Cenderung oportunis dan emosional. Renungan terhadap
keberadaan manusia dimunculkan melalui
pertentangan-pertentangan antar tokohnya.
Tafsir terhadap naskah ini, tidak
mencuatkan inti persoalan manusia melalui pertentangan pandangan hidup kedua
tokoh itu . Tokoh Kakek di
pertunjukan ini, ditafsirkan
sebagai orang tua yang cenderung
bersedih ketika dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan. Bukan sebagai orang tua yang gigih memperjuangkan dunia
khayalannya. Tokoh anak, yang merupakan
tokoh tambahan yang tak terdapat pada naskah aslinya, justru bermain jujur
dan polos. Kehadiran pemeran tambahan ini, meski ia bermain bagus, bernyanyi bagus,
tetapi kehadirannya disayangkan tidak memiliki hubungan krusial dengan inti pertentangan pemikiran yang dikandung
naskah. Kehadirannya difungsikan
untuk menambah situasi dramatik adegan.
Set
untuk pertunjukan ini menggambarkan lingkungan
kehidupan sekelompok masyarakat
urban yang miskin di kolong jembatan. Bangunan
rumah tambal sulam, tiang
jembatan layang, WC
Umum, jembatan bambu, ditata
dengan kesan kumuh, sempit, menekan dan kotor.
Beberapa lampu pijar
bersinar temaram di sudut-sudut
bangunan. Penataan ruang bermain ini kurang terdukung oleh tata cahaya. Ruang yang hadir tidak memiliki
dimensi kedalaman.
Dalam hal bermain, pemeran tokoh si
Pincang, cukup konsisten menggeluti
pemikiran tokohnya yang ingin lebih realistis memandang kehidupan.
Akan tetapi, pertentangan pikirannya
dengan si tokoh Kakek tidak mencuat, sebab si Kakek digambarkan cepat menyerah
lalu bersedih meratapi nasibnya. Pemicu
pertentangan pandangan hidup yang
melahirkan berbagai peristiwa teater itu menjadi lemah. Tempo bermain
si Orang Tua ditafsir sebagai tipikal orang tua yang
lamban. Itu berakibat keseluruhan adegan menjadi bertempo lamban. Enerji pentas
jadi meredup. Suara pemain nyaris tidak
terdengar saat menjelang akhir cerita. Padahal, tokoh si Kakek, dalam
konteks naskah yang ditulis Iwan
Simatupang, adalah tokoh yang tidak mudah menyerah. Sampai akhir cerita ia
digambarkan masih bersemangat memiliki
harapan, optimis untuk bisa jadi
pahlawan, biarpun pada kenyataan itu
cuma utopia.
10. TEATER PANKENG
Pentas tgl. 29-10-2015 jam
19.00
Naskah: Kebebasan Abadi karya CM Nas. Sutradara: Zet Bi
Er.
Seting pertunjukan
digambarkan terjadi di
sebuah pulau berbatu. Ada sebuah batu besar di tengah belakang
panggung. Sebuah pohon sejenis palm kering di kanan panggung, sebuah tenda
kecil di depan pohon itu, dan sebuah
undakan bebatuan di kiri
panggung. Karung-karung pasir ditata di bibir panggung, menggambarkan itu adalah karung-karung pasir untuk berlindung dari desingan peluru.
Pertunjukan dibuka dengan
suara ombak dan cahaya temaram, mengisyaratkan malam. Lalu beberapa sosok tubuh
melintasi ruangan. Mereka saling
waspada satu sama lainnya. Lalu
mereka menghilang. Tak lama kemudian cahaya
berobah terang,
menggambarkan siang. Lalu adegan
pun dimulai.
Naskah ini memaparkan tragedi manusia
yang berupaya untuk membebaskan dirinya dari tuntutan nafsu dari dirinya sendiri. Peristiwa berlatar situasi
perang di masa kemerdekaan. Sekelompok tentara digambarkan berada di pulau kosong itu, sebab kapal mereka telah mereka karamkan atas perintah Kapten. Srikandi, istri si
Kapten ada dalam rombongan
tentara itu. Setelah beberapa lama terdampar di pulau gersang itu,
mereka kehabisan bahan makanan. Anak buah Kapten mulai
putus asa. Mereka mulai saling
salah menyalahkan diantara mereka. Keadaan semakin memburuk. Salah
seorang dari mereka menderita sakit.
Istri Kapten yang cantik itu menjadi sasaran mimpi birahi para
serdadu. Situasi semakin memanas
ketika salah seorang anak buah Kapten
ingin menyelamatkan dirinya sendiri dari
pulau itu, tetapi si
Kapten menghalanginya. Si Kapten justru menganggap bahwa keluar dari pulau itu justru bukan merupakan
jalan untuk bebas. Kapten itu kemudian bahkan mengorbankan istrinya sendiri untuk
dijadikan istri oleh anak buahnya. Hal itu menimbulkan kekecewaan
mendalam pada Sang Istri. Pertentangan
diantara mereka memuncak hingga tokoh Sersan terbunuh oleh tokoh
Letnan. Peristiwa saling membunuh diantara mereka pun terjadi. Akhir
cerita, mereka semua mati, oleh serbuan
tentara Belanda ke pulau itu. Kematian, adalah kebebasan abadi, seperti
diungkapkan oleh si Kapten di awal
adegan.
Tragedi kemanusiaan yang terkandung dalam naskah itu, dalam pertunjukan ini mengalami berbagai persoalan pemeranan dan penyutradaraan. Unsur derita yang dialami tokoh tokohnya, masih terasa kurang dalam dihayati pemain-pemainnya. Dalam tragedi, semakin dalam unsur derita ini dihayati pemainnya, akan semakin tragis peristiwa-peristiwa yang akan lahir dari pertentangan antar tokoh-tokohnya. Pemeranan terfokus pada tindak laku luar tokoh-tokohnya, bukan pada apa yang menyebabkan tindakan-tindakan itu lahir. Hampir secara keseluruhan tidak tergambarkan bahwa mereka sudah dalam tahap kritis, berhari-hari di pulau itu tanpa makanan, dan menghadapi berbagai bahaya yang bersumber dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri. Faktor keadaan tertentu yang berpengaruh pada tindakan tokoh-tokohnya itu, cenderung dimunculkan hanya pada saat pertentangan dialog saja. Ketika dialog-dialog selesai, derita yang dialami tokohnya akibat konflik-konflik yang baru dialaminya itu tidak membekas pada adegan berikutnya. Seting panggung tidak berfungsi sebagaimana diperlihatkan. Di bibir panggung ditata karung-karung untuk berlindung dari desingan peluru. Pada saat pulau itu diserbu musuh, mereka justru berlindung di balik batu. Volume efek suara ombak tidak terkontrol, terlalu keras hingga dialog dialog penting antar tokohnya nyaris tenggelam.
Tragedi kemanusiaan yang terkandung dalam naskah itu, dalam pertunjukan ini mengalami berbagai persoalan pemeranan dan penyutradaraan. Unsur derita yang dialami tokoh tokohnya, masih terasa kurang dalam dihayati pemain-pemainnya. Dalam tragedi, semakin dalam unsur derita ini dihayati pemainnya, akan semakin tragis peristiwa-peristiwa yang akan lahir dari pertentangan antar tokoh-tokohnya. Pemeranan terfokus pada tindak laku luar tokoh-tokohnya, bukan pada apa yang menyebabkan tindakan-tindakan itu lahir. Hampir secara keseluruhan tidak tergambarkan bahwa mereka sudah dalam tahap kritis, berhari-hari di pulau itu tanpa makanan, dan menghadapi berbagai bahaya yang bersumber dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri. Faktor keadaan tertentu yang berpengaruh pada tindakan tokoh-tokohnya itu, cenderung dimunculkan hanya pada saat pertentangan dialog saja. Ketika dialog-dialog selesai, derita yang dialami tokohnya akibat konflik-konflik yang baru dialaminya itu tidak membekas pada adegan berikutnya. Seting panggung tidak berfungsi sebagaimana diperlihatkan. Di bibir panggung ditata karung-karung untuk berlindung dari desingan peluru. Pada saat pulau itu diserbu musuh, mereka justru berlindung di balik batu. Volume efek suara ombak tidak terkontrol, terlalu keras hingga dialog dialog penting antar tokohnya nyaris tenggelam.
11.
SANGGAR TEATER BIRU
Lakon
Menanti, karya Ragil
Biru
Naskah untuk pertunjukan ini ingin menggambarkan
penderitaan yang dialami sebuah keluarga
akibat perselingkuhan yang dilakukan
Ayah, si pemimpin rumah tangga. Tokoh
Fitri, di awal pertunjukan dimunculkan berada
di atas kursi roda. Ia
memaparkan, bahwa ia sudah sejak lama
menanti kebahagiaan dalam rumah tangganya.
Peristiwa-peristiwa yang kemudian
digulirkan di panggung, merupakan kilas balik peristiwanya.
Pertunjukan drama rumah tangga ini terganggu oleh konsep ruangnya. Set dibangun dengan konsep ruang dinding ke empat, dimana penontonnya diandaikan melihat sebuah peristiwa yang terjadi di bagian dalam dari sebuah rumah. Pilihan ruang peristiwa, dengan model ruang dimensi ke empat ala teater Eropa abad 19 ini, sebenarnya bisa disiasati lebih jauh – melalui ruang-ruang imaji yang diperkuat melalui pencahayaan. Sebuah ruang keluarga, bisa dihadirkan tanpa menjejali panggung dengan berbagai perabotan seperti halnya dalam realita.
Media panggung memiliki kekuatan ruang imaji tersendiri, yang berbeda dengan ruang-ruang seperti di media film atau televisi.
Melalui kreativitas pemain dalam memperlakukan benda-benda, sebuah kotak persegi, bisa difungsikan menjadi meja, kursi, sofa, ketinggian gunung, perahu, dsbnya. Itu adalah kekuatan teater yang sesungguhnya. Penonton memiliki kekuatan imaji juga, untuk menangkap esensi benda-benda yang dihadirkan itu.
Dengan pilihan ruang teater dengan dimensi dinding ke empat itu, segala kehadiran benda-benda dan perabotan di dalamnya, menuntut perwujudan yang sesungguhnya. Dan itu tidak tergambar baik dalam pertunjukan ini. Garis imaji ruang, terganggu dengan kehadiran foto-foto berbingkai yang digantung begitu saja, melebihi ketinggian dinding setnya. Hal lain yang cukup mengganggu pertunjukan ini, pembagian ruang di depan pintu keluar, tampak seperti dipaksakan. Pemainnya nyempil di sudut ruang, bersentuhan dengan layar samping (side wing). Selain itu, menghadirkan jalan ke arah keluar rumah dengan melintasi panggung di depan ruang itu, merusak imaji dinding ke empat dari rumah yang digambarkan.
Pertunjukan drama rumah tangga ini terganggu oleh konsep ruangnya. Set dibangun dengan konsep ruang dinding ke empat, dimana penontonnya diandaikan melihat sebuah peristiwa yang terjadi di bagian dalam dari sebuah rumah. Pilihan ruang peristiwa, dengan model ruang dimensi ke empat ala teater Eropa abad 19 ini, sebenarnya bisa disiasati lebih jauh – melalui ruang-ruang imaji yang diperkuat melalui pencahayaan. Sebuah ruang keluarga, bisa dihadirkan tanpa menjejali panggung dengan berbagai perabotan seperti halnya dalam realita.
Media panggung memiliki kekuatan ruang imaji tersendiri, yang berbeda dengan ruang-ruang seperti di media film atau televisi.
Melalui kreativitas pemain dalam memperlakukan benda-benda, sebuah kotak persegi, bisa difungsikan menjadi meja, kursi, sofa, ketinggian gunung, perahu, dsbnya. Itu adalah kekuatan teater yang sesungguhnya. Penonton memiliki kekuatan imaji juga, untuk menangkap esensi benda-benda yang dihadirkan itu.
Dengan pilihan ruang teater dengan dimensi dinding ke empat itu, segala kehadiran benda-benda dan perabotan di dalamnya, menuntut perwujudan yang sesungguhnya. Dan itu tidak tergambar baik dalam pertunjukan ini. Garis imaji ruang, terganggu dengan kehadiran foto-foto berbingkai yang digantung begitu saja, melebihi ketinggian dinding setnya. Hal lain yang cukup mengganggu pertunjukan ini, pembagian ruang di depan pintu keluar, tampak seperti dipaksakan. Pemainnya nyempil di sudut ruang, bersentuhan dengan layar samping (side wing). Selain itu, menghadirkan jalan ke arah keluar rumah dengan melintasi panggung di depan ruang itu, merusak imaji dinding ke empat dari rumah yang digambarkan.
Dalam bermain, para pemainnya tampak berusaha menghayati perannya masing-masing dengan maksimal. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh kelompok ini di penghantar tertulis di pertunjukannya, latihan untuk pertunjukan ini tidak berjalan dengan baik. Ini sebuah kejujuran yang tak perlu diungkapkan. Penonton diandaikan tidak memiliki permakluman atas persiapan-persiapan pentasnya.
Hal
yang patut dipujikan dalam pertunjukan
ini, adalah pemeran tokoh Rara, si bungsu yang cacat mental. Ia membuat
gerak-gerik yang konsisten sebagai tokoh Rara yang mengalami cacat fisik dan
mental, memiringkan mulut, kaki,
dan menekuk tangan. Tetapi
sangat disayangkan. Jalinan cerita dalam naskah ini kurang kuat
ditampilkan dalam ruang yang mengganggu
imaji itu, sehingga kehadiran tokoh
Rara itu seperti hanya untuk
menambah-nambah sisi dramatis dari
kehancuran rumah tangga.
12.
TEATER PONDOK CIPTA
Pentas tgl. 30-10-2015 jam 19.00
Charlie, karya Slamowir Mrozek, terjemahan……….
Naskah ini ditulis Slamowir Mrozek,
dramawan asal Polandia. Naskah ini
memiliki hubungan kuat dengan situasi sosial
politik di Polandia setelah Perang Dunia
II. Di masa usia si
pengarang menginjak remaja,
kekuasaan Nazi Hitler menginvansi
negaranya. Lepas dari invansi Hitler,
Polandia jatuh dalam kekuasaan komunis Rusia. Charlie yang dimaksud Slamowir, bukanlah sekedar nama. Itu sebuah tanda dalam
kode fonetik bahasa (http://www.alphabravocharlie.info/alphabet.php)
Charlie, adalah kode fonetik bahasa untuk huruf “C”. Dalam drama karikatural ini, tokoh “Charlie”
itu merupakan tokoh yang dicari-cari dan
akan ditembak oleh tokoh Kakek. Persoalannya, si Kakek mengalami gangguan mata. Ia memerlukan kacamata yang dipakai si Dokter mata, untuk
bisa melihat “Charlie”. Dokter mata itu adalah
representasi tokoh intelektual. Charlie, di akhir cerita, digambarkan hanya boneka yang
ternyata dirawat oleh kaum intelektual, si Dokter.
Dalam pertunjukan ini, tokoh Charlie itu tidak disiasati lebih jauh melalui kode fonetik bahasa, yang berhubungan dengan situasi negara Polandia dibawah bayang-bayang kekuasaan rezim komunis (C…ommunist) Rusia itu. Tokoh Charlie yang menjadi isu persoalan kemanusiaan dalam pertunjukan ini menjadi kabur. Pertunjukan menjadi mengejar kelucuan-kelucuan fisik para tokohnya, tanpa dilatari peristiwa-peristiwa yang sangat kental bernuansa politis itu. Dialog-dialog pemain menjadi terasa absurd, oleh sebab situasi-situasi yang melatari dialog-dialognya kehilangan esensi dari apa yang dimaksud si pengarangnya.
Dalam pertunjukan ini, tokoh Charlie itu tidak disiasati lebih jauh melalui kode fonetik bahasa, yang berhubungan dengan situasi negara Polandia dibawah bayang-bayang kekuasaan rezim komunis (C…ommunist) Rusia itu. Tokoh Charlie yang menjadi isu persoalan kemanusiaan dalam pertunjukan ini menjadi kabur. Pertunjukan menjadi mengejar kelucuan-kelucuan fisik para tokohnya, tanpa dilatari peristiwa-peristiwa yang sangat kental bernuansa politis itu. Dialog-dialog pemain menjadi terasa absurd, oleh sebab situasi-situasi yang melatari dialog-dialognya kehilangan esensi dari apa yang dimaksud si pengarangnya.
13. TEATER ANTIK
Pentas tgl.
31-10-2015
Vandalisme, karya/sutradara Hendry
Ompong.
Naskah ini mempersoalkan pertentangan antara Aku, Ingin, Ego, Birahi, dan kemudian Fragmatis.
Ini tampaknya sebuah eksperimen yang bersinggungan dengan psikologi Freud (Id - Ego – Super Ego) yang kemudian
bersinggungan dengan hal-hal pragmatis
yang terdapat dalam diri manusia. Tokoh Aku digambarkan terpenjara di suatu
ruang (pemikiran). Ia ingin membebaskan dirinya, tapi terhalang
oleh berbagai hal yang – bila mengikuti arah alur naskah ini
- sebenarnya bersumber dari
diri si Aku itu sendiri. Tokoh-tokoh lain di luar si Aku, dimunculkan dalam wujud karakter Pejabat, Pengusaha, Pelacur, pembunuh
misterius, dll. Seperti halnya
yang terjadi dalam hidup itu sendiri, menampakkan wujud manusianya bila manusia
dominan dikuasai oleh hanya faktor ego, atau birahi, atau faktor faktor
psikologis lainnya.
Ide yang menarik, pertunjukan ini didukung musik Rock. Menyiratkan pemberontakan.
Ide yang menarik, pertunjukan ini didukung musik Rock. Menyiratkan pemberontakan.
Dalam pertunjukannya, teater ini
memilih panggung arena. Ini sebenarnya sebuah pilihan yang bagus. Pentas arena
lebih memungkinkan bagi pemain-pemainnya untuk “telanjang” di hadapan penontonnya, tidak bersembunyi
dibalik sorotan lampu dan make-up. Namun, persiapan untuk menghadirkan
pertunjukan ini masih tampak kurang matang. Pemilihan seperangkat steiger, sebagai simbol ruang yang kokoh dan mengkungkung tokoh Aku itu, tidak disiasati
kembali, misalnya membuat tampilan steiger itu menjadi netral, sehingga benda
itu mampu melampaui imaji yang melekat
di benda itu sendiri. Kemunculan
tokoh Bodoh, yang membagi masker ke penonton,
berbarengan dengan laku
beberapa pemain lain yang kemudian
mengenakan masker juga, ingin
mempertegas bahwa tokoh Bodoh
itu lah yang banyak menimbulkan
kerusakan pada alam. Momen itu dipertegas dengan latar musik rock yang memprihatinkan kondisi
alam kini.
Pemilihan bentuk Physical Theater (Teater Tubuh) yang juga terdapat dalam pertunjukan Teater Trompah, kurang mendapat dukungan dari tubuh itu sendiri. Tubuh tidak muncul menyatakan pengalaman-pengalaman personalnya dan menggugat keberadaannya dalam ruang kekinian. Tema di luar tubuh tidak sebanding dengan pengalaman personalnya.
Pemilihan bentuk Physical Theater (Teater Tubuh) yang juga terdapat dalam pertunjukan Teater Trompah, kurang mendapat dukungan dari tubuh itu sendiri. Tubuh tidak muncul menyatakan pengalaman-pengalaman personalnya dan menggugat keberadaannya dalam ruang kekinian. Tema di luar tubuh tidak sebanding dengan pengalaman personalnya.
Catatan
tambahan:
Ada hal
menarik dan sering jadi perdebatan dalam ajang festival ini dari tahun ke tahun.
Yakni tentang fenomena genre teater
tubuh (physical theater) yang dianggap
lebih mampu mewadahi kekinian.
Rangkaian kemunculan berbagai genre
teater, yang bersinggungan dengan filsafat yang menyertainya itu, merupakan aplikasi dari
kebudayaan teater yang berkembang di
belahan dunia barat. Dimulai dari mazhab romantik Shakespeare – realisme
Stanislavskian - ekspresionisme dan
alienasi Brecht – absurdisme Becket –
Grotowskian, sampai ke genre teater antropologi Eugenio Barba. Berbagai
genre teater itu
masuk bersamaan di tahun 70-an ke Indonesia, melalui proyek terjemahan karya-karya sastra
mancanegara yang dilakukan Lembaga Penterjemah Indonesia. Kita tidak
mengalami proses dialektika yang menyertai kehadiran setiap genre itu. Dan
itu masuk begitu saja tanpa melalui kajian perdebatan yang terjadi
di jagad
teater itu. Hal ini menimbulkan
kontroversi berkepanjangan, menimbulkan kegagapan-kegagapan dan fanatisme yang
merugikan perkembangan jagad teater di Indonesia. Ini ironi pahit. Teater
di Eropa yang banyak diilhami
keberagaman teater timur, tumbuh
jadi kaya dan beragam. Sebaliknya
teater di Indonesia
yang semula kaya dan
beragam, berjalan menuju ke kemiskinan, seragam.
Hal lain, dalam sistem penjurian, selalu menimbulkan kontoversi juga. Oleh sebab berbagai genre teater yang ada itu
berada di satu even yang sama. Setiap genre teater
membutuhkan cara pandang dan
estetika berbeda. Ini seperti
dalam analogi mempertemukan
berbagai genre musik di even festival. Seharusnya bisa dibayangkan bahwa festival itu akan
berlangsung meriah dalam
keberagaman. Ada musik klasik, rock, jazz,
yang memiliki estetikanya sendiri. Festival ini, harus
mampu tumbuh menerima keberagaman estetika itu.
Tidak seluruh tampilan musik klasik itu bagus. Ada juga
yang ditampilkan jelek. Begitupun dengan musik Jazz, atau Rock,
atau genre (aliran) musik
lainnya. Dan bila kita kembalikan
analogi itu ke teater, adalah
celaka, bila misalnya teater realis
yang bagus dibanding-banding dengan teater tubuh yang
jelek. Atau sebaliknya, teater tubuh yang bagus dibanding-banding
dengan tampilan teater
realis yang jelek. Itu hanya melahirkan
kesempitan dalam berpikir dan cenderung menjadi rezim baru
yang berbahaya untuk keberagaman teater. Teater harus dibebaskan. Ia dilahirkan
dari keringat latihan dan kesungguh-sungguhan.
Mudah-mudahan, di tahun-tahun mendatang, kita bisa menumbuhkan teater kita sendiri, lebih beragam, tanpa tersandung-sandung dengan citarasa dan estetika yang terganjal oleh fanatisme-fanatisme buta itu.
Mudah-mudahan, di tahun-tahun mendatang, kita bisa menumbuhkan teater kita sendiri, lebih beragam, tanpa tersandung-sandung dengan citarasa dan estetika yang terganjal oleh fanatisme-fanatisme buta itu.
Salam.
0 komentar:
Posting Komentar